CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Kamis, 24 November 2011

Prematur

Malam ini, entah kenapa jari jemari ini enggan beranjak dari tempatnya menari. Ada banyak hal yang ingin saya ungkapkan, seolah berebut untuk segera dituliskan. Tak dinyana, gambaran di masa lampau kembali menyeruak dalam benak saya. Kejadian yang cukup bersejarah dalam proses menuju kedewasaan diri saya.

Kejadiannya tepat tanggal 16 Juni 2008. Saya masih ingat, malam sebelumnya saya tak bisa memejamkan mata walau sedetik. Padahal, malam-malam sebelumnya nyaris saya tak tidur karena masih harus berkutat dengan tumpukkan kertas, buku-buku sastra dan filsafat serta komputer kesayangan. Di hari itu, seingat saya, baju “kebangsaan” mahasiswa yang hendak “berjuang” di hadapan para penguji yang berwarna hitam putih itu tak sempat saya setrika. Jangankan menyetrika baju, di detik-detik terakhir menuju kampus, hampir-hampir saya meninggalkan draf skripsi tergeletak di kamar. ‘Tak ada waktu lagi”, pikir saya saat itu. Yang ada dibenak saya saat itu hanya bagaimana waktu bisa secepatnya berlalu di hari ini. Ingin rasanya esok pagi, bangun dengan wajah ceria dan bersorak bahagia. “SAYA LULUS”, ‘Sekarang saya seorang sarjana!”.

Tiba di kampus, tak ada gurat ceria di mata rekan “seperjuangan”. Yang terlihat hanya wajah tegang, serius dan penuh kecemasan. Demikian pula saya, tak henti-hentinya saya membuka lembar demi lembar draf skripsi dan rentetan teori sastra, semiotika, dan filsafat dari jaman om Plato hingga kini.

Tiap detik terasa begitu panjang. Nomor urut saya belum juga disebut. Jantung ini serasa semakin berdegup kencang. Tiap kali rekan lain yang sudah “dieksekusi’, tak ingin sedikit pun saya bertanya meski hanya menyapa “bagaimana di dalam sana?”. Ah…tidak mau. Itu bukan saja hanya akan membuat saya semakin gugup, tapi membuat ketakutan-ketakutan saya semakin berlipat.

Tiba saat yang ditunggu. Yap!! Tiba giliran saya ‘unjuk gigi” di hadapan para penguji yang Nampak lebih “sangar’ dari biasanya. Tak ada senyum apalagi tawa. Yang ada hanya wajah serius dan sedikit sunggingan sinis seolah ingin menjatuhkan saya di awal pertempuran ini.

Saya segera bersiap mempresentasikan skripsi yang selama tiga bulan belakangan ini menjadi madu sekaligus racun di hidup saya.

Belum lagi saya selesai menjabarkan latar belakang mengapa saya tertarik meneliti bahasan ini, penguci pertama mulai bereaksi panas. Wajahnya tampak garang dengan roti yang masih di tangan ia pun bertanya, “menurut anda apa bedanya sign, signifier dan signify dalam sastra dan linguistik?”, “lalu mengapa anda begitu yakin ketika mengambil kesimpulan bahwa sebuah symbol bisa diteliti dengan cara symbolic phases?”, “Lalu apa kaitan teori Northrop Frye yang anda kemukakan dengan symbol keagamaan dalam puisi John Keats terhadap skripsi anda?
Semua pertanyaan penguji pertama membuat otak saya seketika nge-hang, alias tak bisa bekerja cepat. Seolah minta di restart, lagi dan lagi. Lontaran-lontaran pertanyaan yang tidak saya sangka sebelumnya. Seketika itu juga, tangan saya mulai berkeringat, bibir rasanya kelu, kaki seolah sulit untuk menopang tubuh lebih lama lagi. Rasanya ingin pulang saja. Tapi, teguran moderator membuat saya kembali berpijak di dunia nyata dan harus segera menghadapi kenyataan yang ternyata tak seindah yang dipikirkan.

Saya pun mulai mencoba menata kata-kata, mengatur nafas agar suara yang terdengar terlalu bergetar karena gugup. Pertanyaan pertama berhasil saya lalui dengan “selamat”. Namun, ketika hendak berjalan menuju pertanyaan kedua, saya benar-benar kehilangan kata. Bahasa Inggris ini mulai tak jelas, acak-acakkan dan mungkin mereka (penguji –red) pun sadar akan itu. Hingga kata itu pun spontan terlontar dari bibir ini. “Maybe”, yah gara-gaya kata maybe, perdebatan di ruangan iu menjadi semakin sengit dan pada akhirnya saya menyerah dengan pernyataan salah satu penguji yang menyebut saya dan karya saya sebagai sebuah ke-prematur-an.

Gubrak! Rasanya ingin menangis sejadi-jadinya. Tak peduli, rasa malu ini sudah kadung hilang. Seolah semuanya tak bersahabat lagi.

Kata prematur ini yang membuat saya  sadar bahwa selama ini bahkan mungkin hingga kini menjadi penghalang saya untuk maju. Yaa...prematur, istilah yang mengindikasikan segala sesuatu yang masih belum “matang” dan “ketidaklayakan” untuk ditelorkan. Istilah kerennya kekanakan yang menajam dan kedewasaan yang menjanin. Istilah itu saya pinjam dari Salim A. Fillah, salah satu penulis favorit saya hehehe.

Dualisme yang memang tengah ada dan bersemayam dalam diri saya saat itu. Entah kenapa, yang pasti hal ini berimbas cukup tajam terhadap pola pikir dan pola tindak saya. Cara pandang saya yang terkadang “prematur”, yang menghasilkan pola tindak yang kekanak-kanakan.

Bisa jadi apa yang penguji saya katakan ada benarnya. Ke-prematur-an itu tercermin dari karya yang telah saya buat. Kalo boleh meminjam bahasa keren lainnya mungkin kata “dangkal” cukup mewakili hal ini. Dangkal dalam berpikir, membuat sebuah argumen dan yang lebih parahnya prematur dalam mengambil sebuah kesimpulan.

Hahaha… rasanya ingin sekali saya mentertawakan diri saya yang tengah aneh saat itu. Entahlah, dualisme itu semakin mengakar semenjak kepercayaan diri ini hilang entah kemana. Ada perasaan tak “yakin” dengan diri sendiri, perasaan rendah diri terhadap sekeliling.

Sekali lagi ke-prematuran dalam diri yang menganggap kebaikan orang lain selama ini pada diri saya hanyalah sekedar rasa kasihan. Perhatian yang orang lain berikan hanyalah sebuah “pertaubatan” akan kesalahan yang telah mereka perbuat pada diri saya. Picik memang!! Tapi, itulah yang tengah saya rasakan saat itu.

Hari itu merupakan puncak dari segala ke-prematur-an dalam diri saya. Bagaimana mungkin dengan mudahnya saya melontarkan sebuah pernyataan namun tak bisa mempertanggungjawabkannya. Pernyataan-pernyataan dalam karya yang telah saya buat “mati kutu” hanya dengan lontaran kata PREMATUR. Lebih parahnya lagi saya hanya bisa manggut-manggut kayak burung pelatuk belum dikasih makan dua minggu. Saya hanya bisa mengamini segala pernyataan yang sejujurnya tidak semua saya setujui dan berkata Ya..ya...ya (kayak burung beo aza). Yaa... sekali lagi. P-R-E-M-A-T-U-R.

Jadi teringat dengan pernyataan seseorang beberapa hari yang sebelumnya, menurutnya saya harus banyak belajar lagi, bahkan dari awal. Saya terlalu picik dalam menyikapi segala sesuatu yang berada di hadapan saya. Tapi tak apalah, minimal saya masih bisa berpikir untuk instrospeksi diri saya yang memang “rentan” ini. Itu tandanya saya masih diberi kesempatan oleh Allah untuk melihat sisi lain dalam diri saya. Dualisme dalam diri yang akan selalu ada dalam setiap diri-diri yang tengah melalui fase dalam episode kehidupannya. Hanya saja, ingin sekali rasanya menyikapi dualisme diri ini dengan cara yang berbeda dengan orang kebanyakkan. Beda yang bukan hanya sekedar beda. Tapi, beda yang memang akan menjadi pembeda antara dirinya dengan orang kebanyakkan. Insya Allah bisa!!! Aza-aza fighting!!!

Bandung, 24-11-2011
*ditemani lagu-lagu soundtracks fullhouse dan keripik Ma Icih (11.53 p.m)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar