CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Sabtu, 31 Desember 2011

Review 2011


Review ini dibuat sebagai pengingat diri untuk lebih bijak dalam bertindak, berhati-hati dalam melangkah dan yang terpenting jadi bahan muhasabah diri untuk menjadi bekal menjalani kehidupan di tahun berikutnya..heuheu...cekidot!!

1.       Tahunnya kemerosotan  “berkarya” 
Tahun ini banyak hal yang menurun. Entah itu prestasi dalam menelorkan karya amal shaleh maupun prestasi di luar itu. Semuanya stagnant, flat dan terasa hambar. Masih asyik berada di titik aman dan selalu merasa cukup dengan pencapaian yang sudah didapat dan boleh dikata “mandul” berkarya.

2.       Tahunnya jenuh
Tahun ini saya berada di titik kejenuhan yang sulit ditolerir dan dimaafkan.  Kejenuhan yang melanda pekerjaan, hubungan sosial dengan lingkungan sekitar, bahkan dengan pilihan hidup saya sendiri. Arrgggh....sungguh butuh dibina (sakan) heuheu.

3.       Tahunnya resign dari kerjaan
Sempat mengenyam “nyaman” nya menjadi tenaga pendidik di salah satu sekolah terkemuka di Bandung, kemudian karena satu dan lain hal memutuskan untuk hengkang. Alhasil, menganggur lah diriku enam bulan lamanya, meski kemudian menjalani pekerjaan yang sama di tempat yang berbeda.

4.       Tahunnya galau
Membuka dan menutup lembaran bulan di tahun 2011 dengan kegalauan yang sama namun dengan objek yang berbeda. Satu hal yang saya sesali, kenapa saya belum lulus di fase ini. Selalu terjadi pengulangan.





5.       Tahunnya persahabatan
Yup! Di tahun ini saya mendapatkan gift dari Allah berupa sahabat-sahabat yang begitu luar biasa memberikan inspirasi dan makna sahabat dari sudut pandang yang berbeda.

6.       Tahunnya pembelajaran
Dari semua hal yang pernah terjadi entah baik maupun buruk di tahun ini, saya banyak mengambil pelajaran penting tentang hidup. Tentang hubungan personal sesama manusia, tentang kemampuan mengelola diri, tentang keimanan yang naik turun, juga tentang penghargaan terhadap diri.



Baiklah, review ini InshaAllah jadi bahan introspeksi diri saya untuk menjadi pribadi yang lebih baik di kemudian hari. Aamiin 

Senin, 05 Desember 2011

Cerita Sore Antara Aku dan Dia


Kuamati dengan seksama satu demi satu, bagian demi bagian, sudut demi sudut. Kusisir setiap jengkalnya, tak boleh ada yang terlewat. Sekali, dua kali, tiga kali, hingga yang ke sekian kalinya aku masih belum menemukan hal yang janggal padanya. 

Kuingat-ingat hal apa saja yang telah kulakukan bersamanya seharian kemarin. Tetap tak kutemukan sesuatu yang aneh. Kulucuti setiap bagian tubuhnya, barangkali ada yang terluka. Masih tak ada. 

Masih dengan kebingungan yang sama, kudapati ia sekarat. “Ah…mana mungkin”, pikirku. Ia yang selama ini kukenal begitu sehat bahkan tampak sangat baik, kini sekarat. Tak pernah ku alpa memberikan asupan gizi setiap harinya. Tak pernah kulupa mengecek kesehatannya. Kini, seperti yang kukatakan tadi. Ia sekarat. 

Sungguh aneh, bagian tubuhnya tak ada yang terluka. Tampilan fisiknya nampak sehat dan berbobot. Tapi, ia hanya tergolek lemah tak berdaya seolah enggan mengerlipkan cahayanya padaku.

Naluri investigatifku terpacu. Tak ingin rasanya membiarkan dirinya tanpa pertolongan. Setidaknya, dengan ilmuku yang masih pas-pas-an ini aku bisa memberikan pertolongan semampuku. Di tengah kebingungan ini, baru kuingat sebah musabab ia terkulai lemas seperti ini. “AHA!!! Aku ingat!!!”, lonjakku girang. Sambaran petir di hujan kemarin mengretakkan lamunannya. Ia telah disambarnya hingga sekarat seperti ini. “Namun, masih beruntung”, gumamku dalam hati. Setidaknya ia masih sekarat dan belum divonis mati!!

*Bandung, 5-12-2011
Antara Aku dan Laptop-ku

Sabtu, 03 Desember 2011

Semua Tentang Kita


Aktivitas minggu pagi kali ini sedikit berbeda. Tak ada ibu yang menyertaiku berbelanja ke pasar.  Biasanya perjalanan berjalan kaki menuju pasar itu menjadi saat-saat paling asyik buat sekedar ngobrol hal-hal ringan hingga curhat-curhat serius mengenai aku dan kehidupanku. Hmm…boleh dikatakan momen seperti ini adalah waktu yang amat kurindukan di tiap pekannya. Bukan saja karena sabtu-minggu itu hari liburku setelah penat bekerja, tapi juga waktu yang sangat nyaman untuk berbicara dari hati ke hati. 


Seperti yang kukatakan sebelumnya, sabtu-minggu kali ini memang berbeda. Aku menyusuri jalan-jalan setapak menuju pasar ini, sendiri. Ya..hanya sendiri. Tak ada teman ngobrol, tak ada tangan yang bisa digandeng bahkan tak ada teguran kala aku begitu lambat berjalan.

Sering kusampaikan pada ibu, kalau kebersamaan seperti ini akan sangat kurindukan ketika suatu saat nanti aku tak bersamanya lagi. Ibu hanya tercenung, tak berkata-kata. Kulihat bulir-bulir airmatanya hendak turun. Kuperhatikan kerutan di wajah tuanya tak bisa menyembunyikan perasaan yang sama denganku. Aku memang hanya bisa mengungkapkan isi hatiku lewat kata-kata ”bersayap” yang biasanya akan “kuobral” ketika aku bersamanya. Di luar itu, jarang sekali aku ngobrol dengan ibu. 

Ibu pun pernah satu kali memintaku untuk tak usah memikirkan dirinya terlalu jauh. “Pikirkan kebahagiaanmu, nak”, ucapnya satu hari. Kubalas permintaannya hanya dengan senyuman getir. Sungguh, aku belum sanggup membahagiakanmu duhai wanita yang telah mempertaruhkan nyawanya demi melahirkanku. Mengorbankan waktu istirahatnya demi me-nina-bobo-kan aku yang tak bisa tidur (sewaktu kecil). Wanita yang tak pernah lupa menyelipkan doa-doa untukku di setiap sujudnya.

Hingga, tepat di hari ini ingin kukabarkan padanya berita bahagia. Namun, ibu tak di sampingku kini. Ia masih harus menjalani terapi kesehatannya. Inginku dengar tanggapannya tentang berita ini. Inginku meminta restunya. Inginku dengar harapan-harapannya kelak tentangku. Ah…sehari saja tak bersamanya membuatku rindu.

Senin, 28 November 2011

Galau Gulali

Sesaat ia hanya terdiam. Tak ada deretan huruf yang bisa ia rangkai sekarang.  Jemarinya seolah enggan untuk kembali mengalunkan rentetan kata. Kedua bola matanya hanya terpaku pada satu baris pertanyaan yang ia sendiri tak yakin dengan apa yang dibacanya.

“Saya ditembak”, lirihnya dalam hati. Ia terus meracau dalam hati. Mimpi saja ia tak pernah ditambah dengan orang yang sama sekali tak terpikirkan akan hadir dalam dihidupnya kini.

Ya…inilah saat-saat membingungkan sekaligus penuh sensasi keterkejutan. Bagaimana tidak, orang yang kini ada di seberang sana dan tengah mengajaknya berbicara cukup serius itu adalah orang di masa lalu yang kembali hadir di masa kini. Lelaki berkacamata itu tak lain kawan lamanya sewaktu SMA dulu. Tak pernah ada tegur apalagi sapa di masa lalu. Tidak pernah sama sekali. Bahkan mengenalnya pun hanya dari jarak pantau yang sangat jauh.

Kini, lelaki itu hadir membawa sebingkis senyum dan “penawaran’ yang begitu menggiurkan. Obat dari segala dahaga akan kerinduannya pada seorang lelaki. Seolah lelaki itu hadir di saat yang tepat. Namun, sekali lagi. Tak ada jawab atas pertanyaan “sakral” itu. Jawaban atas segala penantian selama ini, membuatnya sulit untuk berkata-kata.

Masih di waktu yang sama, masih dengan pertanyaan yang sama, lelaki itu masih setia menunggu di seberang sana. Seolah tak ada letih tersirat dalam katanya. ‘Apakah ini saat yang tepat?”, ‘apakah ia jawaban dari segala pertanyaan-pertanyaanku selama ini”, “apakah aku mampu?”, semua tanda tanya itu terus melintas beriringan tanpa jeda. Ah ternyata “menembak” dan “ditembak” itu sama sulitnya. Tak ada diantaranya yang mudah.

Bandung, 28-11-2011 (10.24 p.m)
*berkutat dengan tumpukkan kertas diiringi soundtrack of the day: Menanti sebuah jawaban-Padi

Minggu, 27 November 2011

Hujan Bulan Juni

tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu

tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu

tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu

*Sapardi Djoko Damono

Bakat ku Butuh

Tahukah kawan di bulan November Rain ini begitu banyak deretan nama sahabat yang menanti kelahiran bayi mereka. Itu berarti antrian kado pun menanti :). Karena Mr. Money nya gak mendukung, akhirnya puter otak deh :D. Pengen ngasih kado yang chic and simple tapi gak harus merogoh kocek terlalu dalem.

Di tengah-tengah kebimbangan hati (alah lebay nyoooo), akhirnya saya putuskan untuk membuat hadiahnya sendiri. Di samping lebih irit, juga bisa menyesuaikan karakter si penerima kado. Nah, ini nih yang berhasil direalisasikan. Masih banyak kekurangan di sana sini nampaknya. Mohon kritik dan sarannya ya kawan :)


Jumat, 25 November 2011

Deras

Kami hanya terpekur, diam dan tak sepatah kata pun keluar dari mulut kami. Semuanya hening seolah kosong. Namun, masih terasa gurat-gurat kekesalan yang memuncak dan nafas naik turun pertanda menahan amarah yang teramat sangat. Jam dinding sudah menunjukkan waktu yang tak efisien untuk bicara. Suara-suara kendaraan di luar sana pun hanya sesekali melintas. Suara jangkrik mulai terdengar lamat-lamat diselingi tukang nasi goreng yang tengah asik meracik di atas bara api.

Kuperhatikan ia diam-diam melalui sudut mataku. Kulihat gurat-gurat penuaan di wajahnya. Pancaran rasa pedih dan perjuangan yang panjang. Kutatap kedua bola matanya, lalu rambutnya yang kian hari kian memutih dan tubuhnya yang tak lagi setegap dulu.

Kemudian, ku dengar suara kursi bergeser. Kulihat ia merubah posisi duduknya, tanpa merubah ekspresi di wajahnya yang masih sama; kesal. Hanya saja, kini kutebak ia akan kembali membuka pembicaraan kami yang sempat terputus perdebatan panjang. Desah nafasnya mulai kudengar, kupahami itu sebagai persiapannya untuk menataku kata untuk ia sampaikan padaku.

“Lalu apa keputusanmu sekarang?”, tanyanya tiba-tiba. Ku jawab sigap, lantang dan tanpa keraguan, “saya ingin berhenti”. Masih dengan intonasi yang sama ia kemudian bertanya lagi, “kamu yakin dengan keputusanmu?, kamu tak ingin berpikir ulang?”. Tapi, kali ini hanya kujawab dengan anggukkan kepala.

Tak ada lagi suara balasan. Yang ada hanya langkah-langkah kaki menuju kamar pribadinya, tanpa sedikitpun kata lanjutan. Aku paham, kalau sudah begini, pertanda ia sama sekali tak setuju dengan keputusan yang aku ambil ini. Ku ambil nafas panjang, berpikir ulang dan kembali menuliskan rencana apa yang akan kulakukan bila benar aku yakin akan berhenti.


Ia yang kumaksud adalah seorang lelaki berusia setengah abad yang hingga kini kukenal dan kupanggil dengan sebutan bapak. Ia yang sedari dulu mengusahakan apapun yang terbaik bagi hidupku, ibuku dan kedua adikku. Ia yang hanya lulusan SD (itu pun hanya sampai kelas dua) mampu menyekolahkan  aku hingga perguruan tinggi hingga aku berhasil meraih gelar sarjana. Sebuah gelar pendidikan bahkan ia sendiri pun tak pernah mengecapnya.

Ia yang sedari kecil tak pernah merasakan hidup layak sebagaimana teman-temannya rasakan. Di usianya yang masih belia, ia harus bekerja menjadi kuli panggul di pasar guna membantu ayah ibunya yang juga kakek nenekku bekerja. Terkadang ia membawa serta ketiga adiknya mengais kepingan rupiah sambil menjajankan gorengan yang nenekku buat ke tiap lapak yang ada di pasar. Tak ada hari tanpa bekerja, hingga akhirnya ia pun memilih untuk meninggalkan bangku sekolah dan focus bekerja.

Karena itu pula lah, bapak sama sekali tak ingin aku, ibuku san kedua adikku merasakan hal yang sama seperti yang pernah ia alami. Meskipun, kami bukan keluarga “berada” tapi bapak selalu berusaha memberikan apapun yang terbaik untuk kami. Meski pada akhirnya ia harus banting tulang siang malam demi kami. Tak diijinkannya aku untuk tidak merasakan kebahagiaan sebagai seorang anak. Hidupku begitu bahagia meski dalam segala keterbatasan yang ada.

Aku ingat betul, ketika usiaku belum genap tiga tahun bapak selalu mengajakku berakhir pekan di alun-alun kota dan membelikannya aromanis. Kenapa aku tahu? Karena fotoku tengan memegang aromanis masih tersimpan rapi di album masa kecilku. Tapi tak bersama ibuku. Awalnya aku tak paham kenapa ibu tak diajak serta. Barulah kemudian aku tahu kalau saat itu ibulah yang menjadi tulang punggung keluarga kami.

Kurasakan kebahagian yang tak terhingga di hidup kami. Limpahan kasih sayang begitu banyak kudapat. Kebahagiaan kami semakin berlipat hingga suatu hari bapak di terima bekerja di tempat kakek sebelumnya bekerja. Kali ini waktuku lebih sering kuhabiskan bersama ibu. Terkadang diajaknya aku berpetualang di dapur atau sekedar menemaninya memasak. Kulihat ia begitu tulus merawatku serta berbakti terhadap bapak. Sungguh gambaran keluarga kecil nan harmonis yang selalu kutemukan di novel-novel yang aku baca.



Beliau begitu bangga ketika satu hari aku mengabarkan berita gembira padanya. Aku diterima bekerja di sebuah sekolah elit dan ternama di kota kami. Sekolah yang begitu mahal dan sulit dijangkau untuk kalangan bawah, namun memiliki kualitas pendidikan yang baik.

Tak kuduga ekspresi bapak yang begitu sumringah sekaligus bangga luar biasa. Dikabarkannya berita spektakuler ini pada semua orang, sampai aku malu dibuatnya. Intinya dengan aku bisa bekerja disana, bapak berpikiran aku merupakan satu diantara orang beruntung. Selain gaji yang mumpuni, secara pengalaman pun akan banyak yang aku dapat. Ditambah aku hanya seorang sarjana Sastra Inggris yang baru lulus satu tahun dan minim pengalaman. Sebuah prestasi luar biasa dan harus diapresiasi.
Ibu pun demikian, tak henti-hentinya beliau mengucap Alhamdulillah. Ah…rasanya begitu senang melihat orangtua begitu bahagia. Tak terbayar dan tak ternilai harganya.

Sampai lah kini, aku yang merupakan anak tertua, anak yang ia banggakan sekaligus juga diharapkan menjadi tulang punggung keluarga membuatnya kecewa untuk pertama kalinya. Harapannya seolah kandas oleh keputusan yang baru saja aku utarakan.

Kuputuskan berhenti saja dari pekerjaan ini. Bukan…bukan aku tak senang menjadi seorang guru. Sungguh inilah mimpi yang jadi kenyataan bisa menjadi seorang pendidik. Sekali lagi bukan itu alasannya. Ada kepuasan batin yang tak kudapat dengan bekerja disini. Ada banyak hal yang harus aku korbankan walau kompensasinya lembaran rupiah begitu mudah kudapat.

“Sungguh bapak tak habis pikir dengan jalan pikiranmu”, keluhnya. “Orang lain begitu sulit mendapatkan pekerjaan, eh..kamu malah mau keluar”, “orang yang sudah punya pekerjaan saja gajinya minim, lah..kamu gaji besar dan menjanjikan malah mau dilepaskan’.  Serentetan pertanyaan bapak sampaikan padaku dengan intonasi yang sudah tak terkontrol lagi. Naik turun dan iramanya tak beraturan.

“Saya ingin berwirausaha pak”, ucapku tiba-tiba. Wajah bapak memerah, matanya terbelalak, tangannya ia kepalkan dan sekonyong-konyong melemparkan ijasah kuliahku. ‘Untuk apa bapak sekolahkan kamu tinggi-tinggi kalau pada akhirnya hanya jadi seorang pedagang?”, bentaknya. “Bapak saja dulu memilih berdagang karena tak ada pilihan yang lebih baik untuk bapak, tapi kamu….pekerjaan bagus, pendidikan tinggi malah mau berdagang!!!”, amarahnya kian tak terkendali.   

Namun, kembali ia berkata dengan intonasi rendah dan berirama. “Bapak tak pernah melarangmu berdagang, berwirausaha atau apalah istilahnya. Tapi hanya sekedar sampingan, bukan profesi”, paparnya perlahan. Tapi aku tetap pada pendirianku. Keluar dan berwirausaha atau aku bertahan tapi bekerja tak sepenuh hati”.

Apa salahnya menjadi seorang wirausaha??

*Malam kian larut, gemericik hujan mulai mengalunkan simfoni alam.
Bandung, 26-11-2011

Kamis, 24 November 2011

Prematur

Malam ini, entah kenapa jari jemari ini enggan beranjak dari tempatnya menari. Ada banyak hal yang ingin saya ungkapkan, seolah berebut untuk segera dituliskan. Tak dinyana, gambaran di masa lampau kembali menyeruak dalam benak saya. Kejadian yang cukup bersejarah dalam proses menuju kedewasaan diri saya.

Kejadiannya tepat tanggal 16 Juni 2008. Saya masih ingat, malam sebelumnya saya tak bisa memejamkan mata walau sedetik. Padahal, malam-malam sebelumnya nyaris saya tak tidur karena masih harus berkutat dengan tumpukkan kertas, buku-buku sastra dan filsafat serta komputer kesayangan. Di hari itu, seingat saya, baju “kebangsaan” mahasiswa yang hendak “berjuang” di hadapan para penguji yang berwarna hitam putih itu tak sempat saya setrika. Jangankan menyetrika baju, di detik-detik terakhir menuju kampus, hampir-hampir saya meninggalkan draf skripsi tergeletak di kamar. ‘Tak ada waktu lagi”, pikir saya saat itu. Yang ada dibenak saya saat itu hanya bagaimana waktu bisa secepatnya berlalu di hari ini. Ingin rasanya esok pagi, bangun dengan wajah ceria dan bersorak bahagia. “SAYA LULUS”, ‘Sekarang saya seorang sarjana!”.

Tiba di kampus, tak ada gurat ceria di mata rekan “seperjuangan”. Yang terlihat hanya wajah tegang, serius dan penuh kecemasan. Demikian pula saya, tak henti-hentinya saya membuka lembar demi lembar draf skripsi dan rentetan teori sastra, semiotika, dan filsafat dari jaman om Plato hingga kini.

Tiap detik terasa begitu panjang. Nomor urut saya belum juga disebut. Jantung ini serasa semakin berdegup kencang. Tiap kali rekan lain yang sudah “dieksekusi’, tak ingin sedikit pun saya bertanya meski hanya menyapa “bagaimana di dalam sana?”. Ah…tidak mau. Itu bukan saja hanya akan membuat saya semakin gugup, tapi membuat ketakutan-ketakutan saya semakin berlipat.

Tiba saat yang ditunggu. Yap!! Tiba giliran saya ‘unjuk gigi” di hadapan para penguji yang Nampak lebih “sangar’ dari biasanya. Tak ada senyum apalagi tawa. Yang ada hanya wajah serius dan sedikit sunggingan sinis seolah ingin menjatuhkan saya di awal pertempuran ini.

Saya segera bersiap mempresentasikan skripsi yang selama tiga bulan belakangan ini menjadi madu sekaligus racun di hidup saya.

Belum lagi saya selesai menjabarkan latar belakang mengapa saya tertarik meneliti bahasan ini, penguci pertama mulai bereaksi panas. Wajahnya tampak garang dengan roti yang masih di tangan ia pun bertanya, “menurut anda apa bedanya sign, signifier dan signify dalam sastra dan linguistik?”, “lalu mengapa anda begitu yakin ketika mengambil kesimpulan bahwa sebuah symbol bisa diteliti dengan cara symbolic phases?”, “Lalu apa kaitan teori Northrop Frye yang anda kemukakan dengan symbol keagamaan dalam puisi John Keats terhadap skripsi anda?
Semua pertanyaan penguji pertama membuat otak saya seketika nge-hang, alias tak bisa bekerja cepat. Seolah minta di restart, lagi dan lagi. Lontaran-lontaran pertanyaan yang tidak saya sangka sebelumnya. Seketika itu juga, tangan saya mulai berkeringat, bibir rasanya kelu, kaki seolah sulit untuk menopang tubuh lebih lama lagi. Rasanya ingin pulang saja. Tapi, teguran moderator membuat saya kembali berpijak di dunia nyata dan harus segera menghadapi kenyataan yang ternyata tak seindah yang dipikirkan.

Saya pun mulai mencoba menata kata-kata, mengatur nafas agar suara yang terdengar terlalu bergetar karena gugup. Pertanyaan pertama berhasil saya lalui dengan “selamat”. Namun, ketika hendak berjalan menuju pertanyaan kedua, saya benar-benar kehilangan kata. Bahasa Inggris ini mulai tak jelas, acak-acakkan dan mungkin mereka (penguji –red) pun sadar akan itu. Hingga kata itu pun spontan terlontar dari bibir ini. “Maybe”, yah gara-gaya kata maybe, perdebatan di ruangan iu menjadi semakin sengit dan pada akhirnya saya menyerah dengan pernyataan salah satu penguji yang menyebut saya dan karya saya sebagai sebuah ke-prematur-an.

Gubrak! Rasanya ingin menangis sejadi-jadinya. Tak peduli, rasa malu ini sudah kadung hilang. Seolah semuanya tak bersahabat lagi.

Kata prematur ini yang membuat saya  sadar bahwa selama ini bahkan mungkin hingga kini menjadi penghalang saya untuk maju. Yaa...prematur, istilah yang mengindikasikan segala sesuatu yang masih belum “matang” dan “ketidaklayakan” untuk ditelorkan. Istilah kerennya kekanakan yang menajam dan kedewasaan yang menjanin. Istilah itu saya pinjam dari Salim A. Fillah, salah satu penulis favorit saya hehehe.

Dualisme yang memang tengah ada dan bersemayam dalam diri saya saat itu. Entah kenapa, yang pasti hal ini berimbas cukup tajam terhadap pola pikir dan pola tindak saya. Cara pandang saya yang terkadang “prematur”, yang menghasilkan pola tindak yang kekanak-kanakan.

Bisa jadi apa yang penguji saya katakan ada benarnya. Ke-prematur-an itu tercermin dari karya yang telah saya buat. Kalo boleh meminjam bahasa keren lainnya mungkin kata “dangkal” cukup mewakili hal ini. Dangkal dalam berpikir, membuat sebuah argumen dan yang lebih parahnya prematur dalam mengambil sebuah kesimpulan.

Hahaha… rasanya ingin sekali saya mentertawakan diri saya yang tengah aneh saat itu. Entahlah, dualisme itu semakin mengakar semenjak kepercayaan diri ini hilang entah kemana. Ada perasaan tak “yakin” dengan diri sendiri, perasaan rendah diri terhadap sekeliling.

Sekali lagi ke-prematuran dalam diri yang menganggap kebaikan orang lain selama ini pada diri saya hanyalah sekedar rasa kasihan. Perhatian yang orang lain berikan hanyalah sebuah “pertaubatan” akan kesalahan yang telah mereka perbuat pada diri saya. Picik memang!! Tapi, itulah yang tengah saya rasakan saat itu.

Hari itu merupakan puncak dari segala ke-prematur-an dalam diri saya. Bagaimana mungkin dengan mudahnya saya melontarkan sebuah pernyataan namun tak bisa mempertanggungjawabkannya. Pernyataan-pernyataan dalam karya yang telah saya buat “mati kutu” hanya dengan lontaran kata PREMATUR. Lebih parahnya lagi saya hanya bisa manggut-manggut kayak burung pelatuk belum dikasih makan dua minggu. Saya hanya bisa mengamini segala pernyataan yang sejujurnya tidak semua saya setujui dan berkata Ya..ya...ya (kayak burung beo aza). Yaa... sekali lagi. P-R-E-M-A-T-U-R.

Jadi teringat dengan pernyataan seseorang beberapa hari yang sebelumnya, menurutnya saya harus banyak belajar lagi, bahkan dari awal. Saya terlalu picik dalam menyikapi segala sesuatu yang berada di hadapan saya. Tapi tak apalah, minimal saya masih bisa berpikir untuk instrospeksi diri saya yang memang “rentan” ini. Itu tandanya saya masih diberi kesempatan oleh Allah untuk melihat sisi lain dalam diri saya. Dualisme dalam diri yang akan selalu ada dalam setiap diri-diri yang tengah melalui fase dalam episode kehidupannya. Hanya saja, ingin sekali rasanya menyikapi dualisme diri ini dengan cara yang berbeda dengan orang kebanyakkan. Beda yang bukan hanya sekedar beda. Tapi, beda yang memang akan menjadi pembeda antara dirinya dengan orang kebanyakkan. Insya Allah bisa!!! Aza-aza fighting!!!

Bandung, 24-11-2011
*ditemani lagu-lagu soundtracks fullhouse dan keripik Ma Icih (11.53 p.m)

Gantung

Tangisnya meledak. Tak kuasa ia menahan perih yang sedari tadi ia kubur dalam hatinya. Tapi, air matanya seolah tumpah, bersama derasnya hujan kini di luar sana. Rani, namanya. Ia teman baikku. Teman yang meski baru kukenal 6 bulan belakangan, namun sudah menjadi tempatku berbagi suka dan duka.

Kali ini ia hanya bisa menunduk, tertegun melihat lembaran-lembaran kertas putih yang telah dipenuhi t...ulisan lelaki itu. Sekelilingnya hanya kosong, seisi dunia seolah runtuh, tak ada lagi harap, tak ada lagi cita. Kini, hanya ketakutan dan rasa cemas yang mengalun di tiap langkahnya.

Ini kali pertama Rani menginjakkan kaki di tempat ini, meski sebenarnya tempat ini sudah tak asing lagi baginya. Atmosfer kesakitan dan putus asa seolah menghunus di tiap jengkalnya. Wajah-wajah lelah, pahit dan lemah seolah menjadi pemandangan biasa. Namun, seolah tak lagi peduli, tak dihiraukannya lagi ketika seorang wanita setengah baya memangil namanya. “Saudara Rani, silakan masuk”. Hingga kali ketiga wanita itu memanggil, Rani tak jua sadar dari lamunannya. Baginya, memasuki ruangan itu tandanya ia telah mampu mengahadapi kemungkinan terburuk yang mungkin akan terjadi di kehidupannya kelak.

*stuck plus bingung mau diapain lagi ini cerita :)

Bandung, 24-11-2011

Rabu, 23 November 2011

Tanpa Judul

Kupercepat langkahku, sambil sesekali menoleh ke belakang dengan tatapan mata tak bersahabat. Pertanda aku sudah tak bisa menerima perlakuan mereka. Ku beringsut pergi tanpa sepatah kata pun, meski inginku berbalik dan memaki mereka habis-habisan. Tapi ku urungkan niatku. Bukan karena aku takut, melainkan aku tak mau membuat mereka bersorak sorai karena telah berhasil membuat amarahku memuncak hari ini. Meski sudah beberapa langkah menjauhi mereka, masih saja lamat-lamat kudengar ocehan mereka. Sungguh keterlaluan, pikirku.

to be continue........

Harapku Untukmu Bapak

Kudengarkan ocehan bapak malam ini sambil sesekali melayangkan pandangan ke tiap penjuru ruangan. Ah, rasanya malam ini waktu begitu lambat berjalan. Masih kudengar “tausiyah-tausiyah” yang beliau katakan. Hmm….jujur, sedari tadi pendengaranku sudah mulai tak peka dengan isi pembicaraan beliau. Kalau saja aku tak ingat beliau tengah ‘menceramahiku’ mungkin aku sudah beringsut pergi. 
Sejam berlalu, masih saja tema yang sama yang aku dengar. “Kapan kamu mau berpikir untuk masa depanmu?”. Aku tak menjawab, hanya menunduk sambil sesekali menyeka bulir-bulir keringat di pelipisku. “Kapan kamu mau mencari calon pendamping hidupmu?”. Hmm…lagi-lagi itu ujung pangkal pembicaraan kami malam ini. Bosan, sudah pasti. “Teman-teman sebayamu sudah punya “buntut”, bahkan ada yang tengah menunggu kelahiran buntut yang ketiga”. “Nah, kamu, satu aja belum”.

Jujur, ini bukan kali pertama aku diberondong pertanyaan serupa. Dan bukan saja bapak yang begitu bernafsu memprovokasiku untuk mulai menanggapi laki-laki, tapi orang lain yang tak berkepentingan pun tak pernah bosan bertanya. ‘Kapan atuh bawa calonnya kesini?”, “sama orang mana sekarang?”.

Ah, sungguh mereka semua tak pernah tahu betapa aku begitu sulit untuk menjawab lontaran-lontaran mereka. Bukan tidak mau, bukan tidak ingin, hanya saja aku harus menjawab apa?. Sungguh, mereka semua tak akan pernah mengerti bahwa tiap kali pertanyaan-pertanyaan itu mereka lontarkan, aku pun tengah berperang melawan rasa “inginku”. Tengah memupuk husnudzon-ku padaNya.

Lalu, dalam lamunku bapak hanya berkata, “Gantungkan harapmu padaNya, Nak”.

Ah, andai saja……

Bandung, 23-11-2011

*bergumul dengan jari jemari di depan layar laptop