Sesaat ia hanya terdiam. Tak ada deretan huruf yang bisa ia rangkai sekarang. Jemarinya seolah enggan untuk kembali mengalunkan rentetan kata. Kedua bola matanya hanya terpaku pada satu baris pertanyaan yang ia sendiri tak yakin dengan apa yang dibacanya.
“Saya ditembak”, lirihnya dalam hati. Ia terus meracau dalam hati. Mimpi saja ia tak pernah ditambah dengan orang yang sama sekali tak terpikirkan akan hadir dalam dihidupnya kini.
Ya…inilah saat-saat membingungkan sekaligus penuh sensasi keterkejutan. Bagaimana tidak, orang yang kini ada di seberang sana dan tengah mengajaknya berbicara cukup serius itu adalah orang di masa lalu yang kembali hadir di masa kini. Lelaki berkacamata itu tak lain kawan lamanya sewaktu SMA dulu. Tak pernah ada tegur apalagi sapa di masa lalu. Tidak pernah sama sekali. Bahkan mengenalnya pun hanya dari jarak pantau yang sangat jauh.
Kini, lelaki itu hadir membawa sebingkis senyum dan “penawaran’ yang begitu menggiurkan. Obat dari segala dahaga akan kerinduannya pada seorang lelaki. Seolah lelaki itu hadir di saat yang tepat. Namun, sekali lagi. Tak ada jawab atas pertanyaan “sakral” itu. Jawaban atas segala penantian selama ini, membuatnya sulit untuk berkata-kata.
Masih di waktu yang sama, masih dengan pertanyaan yang sama, lelaki itu masih setia menunggu di seberang sana. Seolah tak ada letih tersirat dalam katanya. ‘Apakah ini saat yang tepat?”, ‘apakah ia jawaban dari segala pertanyaan-pertanyaanku selama ini”, “apakah aku mampu?”, semua tanda tanya itu terus melintas beriringan tanpa jeda. Ah ternyata “menembak” dan “ditembak” itu sama sulitnya. Tak ada diantaranya yang mudah.
Bandung, 28-11-2011 (10.24 p.m)
*berkutat dengan tumpukkan kertas diiringi soundtrack of the day: Menanti sebuah jawaban-Padi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar